jualan

jualan

SELAMAT DATANG DI BLOGGER MATERIAL & E-BOOK

Selamat datang rekan-rekan blogger dan pemerhati bidang material dan logam.
Website ini berisi semua hal yang berhubungan dengan material dan logam. Saya menyediakan informasi E-book khusus material dan logam yang cocok bagi para mahasiswa, dosen,peneliti dan pemerhati.

Khususnya rekan-rekan yang bekerja di Industri, riset dan development yang berhubungan dengan produk logam dan manufaktur serta korosi jika ada troubleshooting atau masalahteknis "Jangan segan-segan" untuk kontak saya.


Mohon melalui kontak e-mail saja, Insya Allah akan direspons

Dr. Eng. Gadang Priyotomo, ST, M.Si.
(Peneliti Material & Korosi)
Puslit Metalurgi dan Material (P2M2) -LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Gd.474 Serpong Tangerang Selatan Banten Indonesia
HP. 0858-8863-6002
Pin. BB : 7ED20F5E

E-mail : gadangp@gmail.com atau onlinemtrl@gmail.com


Kamis, 15 November 2007

[Sekilas] Mengenal tentang besi tuang

MENGENAL TENTANG BESI TUANG (CAST IRON)


Secara umum Besi Tuang (Cast Iron) adalah Besi yang mempunyai Carbon content 2.5% - 4%. Oleh karena itu Besi Tuang yang kandungan karbonnya 2.5% - 4% akan mempunyai sifat MAMPU LASNYA (WELDABILITY) rendah. Karbon dalam Besi Tuang dapat berupa sementit (Fe3C) atau biasa disebut dengan Karbon Bebas (grafit). Perlu di ketahui juga kandungan FOSFOR dan SULPHUR dari material ini sangat tinggi dibandingkan Baja.

Ada beberapa jenis Besi Tuang (Cast Iron) yaitu :

  1. BESI TUANG PUTIH (WHITE CAST IRON).Dimana Besi Tuang ini seluruh karbonnya berupa Sementit sehingga mempunyai sifat sangat keras dan getas. Mikrostrukturnya terdiri dari Karbida yang menyebabkan berwarna Putih.
  2. BESI TUANG MAMPU TEMPA (MALLEABLE CAST IRON).Besi Tuang jenis ini dibuat dari Besi Tuang Putih dengan melakukan heat treatment kembali yang tujuannya menguraikan seluruh gumpalan graphit (Fe3C) akan terurai menjadi matriks Ferrite, Pearlite dan Martensite. Mempunyai sifat yang mirip dengab Baja.
  3. BESI TUANG KELABU (GREY CAST IRON).Jenis Besi Tuang ini sering dijumpai (sekitar 70% besi tuang berwarna abu-abu). Mempunyai graphite yang berbentuk FLAKE. Sifat dari Besi Tuang ini kekuatan tariknya tidak begitu tinggi dan keuletannya rendah sekali (Nil Ductility).
  4. BESI TUANG NODULAR (NODULAR CAST IRON)NODULAR CAST IRON adalah perpaduan BESI TUANG KELABU. Ciri Besi tuang ini bentuk graphite FLAKE dimana ujung - ujung FLAKE berbentuk TAKIK-AN yang mempunyai pengaruh terhadap KETANGGUHAN, KEULETAN & KEKUATAN oleh karena untuk menjadi LEBIH BAIK, maka graphite tersebut berbentuk BOLA (SPHEROID) dengan menambahkan sedikit INOCULATING AGENT, seperti Magnesium atau calcium silicide. Karena Besi Tuang mempunyai KEULETAN yang TINGGI maka besi tuang ini di kategorikan DUCTILE CAST IRON.

FAKTOR-FAKTOR APA YANG MEMPENGARUHI SIFAT MAMPU LAS (WELDABILITY) PADA MATERIAL INI ???

  1. Ketegangan saat pendinginan.Secara teori pengelasan (welding) material las (logam las / weld metal) akan berkontraksi selama pendinginan. Karena kerapuhan dari besi tuang inilah kontraksi cast iron mempunyai kemampuan yang lebih rendah dibandingkan Baja.
  2. Bentuk yang tidak beraturan.Umumnya Besi Tuang ini dibuat dalam bentuk yang tidak berarturan atau boleh saya bilang artistik. Dengan adanya bentuk yang rumit besi tuang tersebut sedikit banyak mempunyai ketebalan yang tidak seragam hal ini akan mempengaruhi kontraksi tegangan yang terjadi pada material tersebut dan mudah terjadi retak dan perlu diingat juga yang melatarbelakangi ini adalah sifatnya yang mempunyai daya lentur yang sangat rendah.
  3. HAZ yang keras.HAZ pada Besi Tuang yang berdekatan dengan Weld Metal akan mempunyai sifat yang KERAS. Pengerasan ini diakibatkan oleh adanya bagian HAZ yang tidak ikut mencair.
  4. Pengikatan Karbon dari Base Metal.Akibat Pengelasan Besi tuang yang tercampur dengan Base Metal akan menyebabkan terjadinya pengikatan KARBON pada WELD METAL sehingga menyebabkan peningkatan kandungan SULFUR dan PHOSPOR dalam WELD METAL tersebut.
  5. Penyerapan Minyak pada Besi Tuang.Karena bentuk kareketeristik material ini rata-rata berpori maka kemungkinan terjadinya peresapan minyak dalam graphite yang menyebabkan porositas pada logam las. Biasanya sering dialami oleh temen praktisi welding, repair pada saat maintenance.

Mengapa Cast Iron jika di Las Sering terjadi retak? Sebelum kita bahas hanya keretakan pada Cast Iron, ada baiknya jika kita mengerti terlebih dahulu apa yang disebut Crack pada logam, apa yang menyebabkan crack pada logam, apa pengaruh Chemical Composition terhadap mudah tidaknya suatu logam retak, Apa itu diagram CCT dan CCCT, dll. Sehingga kita tidak salah dalam mengambil kesimpulan dalam memahami terjadinya crack pada pengelasan Cast Iron…..

Keretakan pada proses pengelasan Cast Iron, ada beberapa faktor yang saling dukung mendukung sehingga memudahkan terjadinya Crack.

Faktor utamanya adalah :

  1. Chemical Composition : %C = Carbon terlalu tinggi. Unsur C yang tinggi memang akan menurunkan Titik Lebur baja (Mesti dibahas juga Diagram Fe-Fe3C) sehingga antara proses peleburan dan penuangan di cetakan lebih mudah. Tetapi karena sifatnya yang lunak akan menjadi sumber keretakan di paduan Besi Cor, apalagi yang C nya berbentuk Flake (Besi cor mempunyai Carbon bebas, mungkin seperti radikal bebas di tubuh kita). %P= Posphor dan %S= Sulphur Tinggi. Dalam paduan Fe, kadar P dan S tidak boleh lebih besar dari keteentuan. Karena lebih dari itu akan menyebabkan sumber keretakan (kalau di proses rolling pembuatan besi beton bisa pecah) . Lantas mengapa unsur P dan S ini tidak diturunkan saja? Dalam proses pengecoran, unsur P dan S sangat diperlukan untuk meningkatkan mampu alir dari cairan besi….
  2. Faktor-faktor lain seperti bentuk yang kompleks dan lain tidak banyak berpengaruh, karena kebanyakan pada proses pengelasan Cast Iron, keretakan terjadi pada daerah HAZ.
  3. Bagaimana pengaruh Olie dll ? Pengotor seperti ini lebih banyak berpengaruh terhadap terjadinya Porosity pada weld metal.

Lantas bagaimana untuk menghindari terjadinya keretakan pada pada proses pengelasan Cast Iron?

  1. Gunakan kawat las Nickel.
  2. Kontrol heat input dan Cooling rate…
  3. Sebelum mengelas harus dibersihkan terlebih dulu dari misalnya Olie, Cat dlll.

Pada umumnya Besi Tuang (Cast Iron) mempunyai bentuk yang rumit suatu contoh (PIPE FITTING, SPROKECT, PUMP, CRANK SHAFT MESIN MOBIL dan beberapa peralatan yang terdapat pada Pabrik GULA) bukan dalam bentuk MILD seperti STEEL yang sering kita temui dipasaran.

BAGAIMANA KORELASINYA.

Dengan adanya bentuk yang rumit besi tuang tersebut sedikit banyak mempunyai ketebalan yang tidak seragam hal ini akan mempengaruhi konstraksi tegangan yang terjadi pada material tersebut dan mudah terjadi retak.

Untuk menghindari timbulnya keretakan pada sebuah besi tuang karena ketegangan akibat konstraksi tegangan selama pengelasan sering dilakukan dengan memperluas bidang yang dipanasi dengan PREHEATING untuk menyeimbangkan KONTRAKSI TEGANGAN dalam hal ini ada metode yang dilakukan dalam preheating :

  1. PREHEATING SETEMPAT.Tujuannya untuk menghambat tingkat pendinginan sambungan las.
  2. PREHEATING KESELURUHAN.Mempunyai fungsi untuk melepaskan tegangan internal yang tersembunyi dan untuk memperlambat pendinginan pengelasan. Hal ini cocok untuk material yang mempunyai bentuk rumit Seperti RODA GIGI, SPROKET dsb.

MENGAPA KAWAT LAS BESI TUANG BERBASIS PADA UNSUR NICKEL (Ni) ??

Nickel adalah suatu logam berwarna Putih perak, Mempunyai Berat Jenis 8.5 yang hampir sama dengan Tembaga.

Nickel dijadikan sebagai bagian dari bahan Kawat Las Cast Iron karena Nickel mempunyai karakteristik LOW SOLUBILITY pada Carbon. Dengan menyatunya NICKEL & BESI dapat menghindari terjadinya CRACK (RETAK) PADA DAERAH FUSION LINE akibat adanya perbedaan EXPANSION temperature pengelasan pada material Cast Iron. Selain itu logam las ini mempunyai karakteristik yang lentur dan mudah untuk dimachining.

Perlu diketahui juga TIDAK SELAMANYA kawat las cast iron berbasiskan pada NICKEL tetapi ada juga kawat las yang berbasiskan TEMBAGA (Copper).


Sumber : http://cepiar.wordpress.com/2007/11/13/apakah-besi-tuang-cast-iron-itu/

[sekilas]Teknik Penguatan logam

[SEKILAS] TEKNIK PENGUATAN LOGAM


Teknik penguatan logam ada lima jenis yaitu :
  1. Penguatan karena proses pemaduan (Solid Solution Hardening)
  2. Penguatan daribatas kristal (penguatan melalui penghalusan butir)
  3. Penguatan melalui efek pengerjaan dingin (strain hardening)
  4. Pengutan dengan pembentukan partikel halus dalam kristal logam (precipitation hardening)
  5. Teknik penguatan lain (other strengthening methods
- Two-phase Strengthening
- Strain aging
- Texture Hardening

Rabu, 14 November 2007

[Sekilas]APAKAH MAKNA DARI KOROSI SECARA UMUM

APAKAH MAKNA DARI KOROSI SECARA UMUM
(What's the meaning of corrosion generally)


Korosi merupakan proses degradasi sifat material disebabkan reaksi dengan lingkungannya. Korosi sebagai suatu reaksi elektrokimia yang memberikan kontribusi kerusakan fisik suatu material secara signifikan sehingga perlu perhatian untuk mencegah dan meminmalisasi kerugian yang timbul akibat efek korosi [1]. Jumlah logam dan paduannya merupakan fungsi dari lingkungan sehingga saling mempengaruhi kedua parameter tersebut antara lain lingkungan air tawar, air laut, tanah, air laut [2].

Pendekatan korosi secara umum melibatkan sifat material antara lain sifat fisik, mekanik dan kimia. Pendekatan lainnya juga mempertimbangkan struktur logam, sifat lingkungan sekitar dan reaksi antara antar permukaan logam dan lingkungan[3]. Faktor-faktor pendekatan korosi yaitu :

· Logam. Komposisi, struktur atom, keheterogenan struktur secara microskopik dan makroskopik, tegangan (tarik, tekan dan siklus).

· Lingkungan. Sifat kimia, konsentrasi bahan reaktif dan pengotor, tekanan, suhu, kecepatan dan lain-lain

· Antar muka logam/lingkungan. Kinetika oksidasi dan pelarutan logam, kinetika proses reduksi bahan di dalam larutan, lokasi produk korosi dan pertumbuhan film dan pelarutan film.

Berdasarkan pertimbangan di atas mengindikasikan mekanisme korosi logam sangat komplek dengan melibatkan berbagai cabang bidang antara lain sifat fisik, metalurgi fisik, kimia, bakteri dan lain-lain.

Mekanisme korosi tidak terlepas dari reaksi elektrokimia. Reaksi elektrokimia melibatkan perpindahan electron-elektron. Perpindahan elektron merupakan hasil reaksi redoks (reduksi-oksidasi). Mekanisme korosi melalui reaksi elektrokimia melibatkan reaksi anodic di daerah anodik. Reaksi anodik (oksidasi) diindikasikan melalui peningktan valensi atau produk electron-elektron. Reaksi anodik yang terjadi pada proses korosi logam yaitu :

M --> Mn+ + ne

Proses korosi dari logam M adalah proses oksidasi logam menjadi satu ion (n+) dalam pelepasan n electron. Harga dari n bergantung dari sifat logam sebagai contoh besi :

Fe--> Fe2+ + 2e

Reaksi katodik juga berlangsung di proses korosi. Reaksi katodik diindikasikan melalui penurunan nilai valensi atau konsumsi electron-elektron yang dihasilkan dari reaksi anodic. Reaksi katodik terletak di daerah katoda. Beberapa jenis reaksi katodik yang terjadi selama proses korosi logam yaitu :

Pelepasan gas hydrogen : 2H- + 2e --> H2

Reduksi oksigen : O2 + 4 H- + 4e --> H2O

O2 + H2O4 --> 4 OH-

Reduksi ion logam : Fe3+ + e --> Fe2+

Pengendapan logam : 3 Na+ + 3 e --> 3 Na

Reduksi ion hydrogen : O2 + 4 H+ + 4 e --> 2H2O

O2 + 2H2O + 4e --> OH-

Reaksi katodik dimana oksigen dari udara akan larut dalam larutan terbuka. Reaksi korosi tersebut sebagai berikut :

NaCl.H2O

2 Fe + O2 -------------------> Fe2O3



Reference :

  1. Fontana and Greene, Corrosion Engineering. Mc Graw Hill. Inc, 1978
  2. Callister . W, Material Science and Engineering, Third Edition
  3. Shreir and Jarman, Corrosion Vol.1 Metal/Environment Reactions, Butterworth-Heinemann, 2000, hal.40

Selasa, 13 November 2007

[INFO] Daftar pengujian korosi standar ASTM secara umum

DAFTAR ASTM PENGUJIAN KOROSI SECARA UMUM

B 117 - Practice for Operating Salt Spray (Fog) Apparatus

C 876 - Test Method for Half-Cell Potentials of Uncoated Reinforcing Steel in Concrete

G 1 - Practice for Preparing, Cleaning, and Evaluating Corrosion Test Specimens

G 2 - Test Method for Corrosion Testing of Products of Zirconium, Hafnium, and Their Alloys in Water at 680F or in Steam at 750F

G 2M - Test Method for Corrosion Testing of Products of Zirconium, Hafnium, and Their Alloys in Water at 633K or in Steam at 673K [Metric]

G 3 - Practice for Conventions Applicable to Electrochemical Measurements in Corrosion Testing

G 4 - Guide for Conducting Corrosion Coupon Tests in Field Applications

G 5 - Reference Test Method for Making Potentiostatic and Potentiodynamic Anodic Polarization Measurement

G 15 - Terminology Relating to Corrosion and Corrosion Testing

G 16 - Guide for Applying Statistics to Analysis of Corrosion Data

G 28 - Test Methods of Detecting Susceptibility to lntergranular Attack in Wrought, Nickel-Rich, Chromium Bearing Alloys

G 30 - Practice for Making and Using U-Bend Stress-Corrosion Test Specimens

G 31 - Practice for Laboratory Immersion Corrosion Testing of Metals

G 32 - Test Method for Cavitation Erosion Using Vibratory Apparatus .

G 33 - Practice for Recording Data from Atmospheric Corrosion Tests of Metallic-Coated Steel Specimens

G 34 - Test Method for Exfoliation Corrosion Susceptibility in 2XXX and 7XXX Series Aluminum Alloys (EXCO Test)

G 35 - Practice for Determining the Susceptibility of Stainless Steels and Related Nickel-Chromiurn-lron Alloys to Stress-Corrosion Cracking in Polythionic Acids

G 36 - Practice for Evaluating Stress-Corrosion-Cracking Resistance of Metals and Alloys in a Boiling Magnesium Chloride Solution

G 37 - Practice for Use of Mattsson’s Solution of pH 7.2 to Evaluate the Stress-Corrosion Cracking Susceptibility of Copper-Zinc Alloys

G 38 - Practice for Making and Using C-Ring Stress-Corrosion Test Specimens

G 39 - Practice for Preparation and Use of Bent-Beam Stress-Corrosion Test Specimens

G 40 - Terminology Relating to Wear and Erosion

G 41 - Practice for Determining Cracking Susceptibility of Metals Exposed Under Stress to a Hot Salt Environment

G 44 - Practice for Evaluating Stress Corrosion Cracking Resistance of Metals and Alloys by Alternate Immersion in 3.5 % Sodium Chloride Solution

G 46 - Guide for Examination and Evaluation of Pitting Corrosion

G 47 - Test Method for Determining Susceptibility to Stress-Corrosion Cracking of High-Strength Aluminum Alloy Products

G 48 - Test Methods for Pitting and Crevice Corrosion Resistance of Stainless Steels and Related Alloys by Ferric Chloride Solution

G 49 - Practice for Preparation and Use of Direct Tension Stress-Corrosion Test Specimens

G 50 - Practice for Conducting Atmospheric Corrosion Tests on Metals

G 51 - Test Method for Measuring pH of Soil for Use in Corrosion Testing

G 52 - Practice for Exposing and Evaluating Metals and Alloys in Surface Seawater

G 54 - Practice for Simple Static Oxidation Testing

G 56 - Test Method for Abrasiveness of Ink-Impregnated Fabric Printer Ribbons

G 57 - Test Method for Field Measurement of Soil Resistivity Using the Wenner Four-Electrode Method

G 58 - Practice for Preparation of Stress-Corrosion Test Specimens for Weldments

G 59 - Practice for Conducting Potentiodynamic Polarization Resistance Measurements

G 60 - Test Method for Conducting Cyclic Humidity Tests

G 61 - Test Method for Conducting Cyclic Potentiodynamic Polarization Measurements for Localized Corrosion Susceptibility of Iron-, Nickel-, or Cobalt-Based Alloys

G 64 - Classification of Resistance to Stress-Corrosion Cracking of Heat-Treatable Aluminum Alloys

G 65 - Test Method for Measuring Abrasion Using the Dry Sand/Rubber Wheel Apparatus

G 66 - Test Method for Visual Assessment of Exfoliation Corrosion Susceptibility of 5XXX Series Aluminum Alloys (ASSET Test)

G 67 - Test Method for Determining the Susceptibility to Intergranular Corrosion of 5XXX Series Aluminum Alloys by Mass loss Alter Exposure to Nitric Acid (NAMLT Test)

G 69 - Practice for Measurement of Corrosion Potentials of Aluminum Alloys

G 71 - Guide for Conducting and Evaluating Galvanic Corrosion Tests in Electrolytes

G 73 - Practice for Liquid Impingement Erosion Testing

G 75 - Test Method for Determination of Slurry Abrasivity (Miller Number) and Slurry Abrasion Response of Materials (SAR Number)

G 76 - Test Method for Conducting Erosion Tests by Solid Particle Impingement Using Gas Jets

G 77 - Test Method for Ranking Resistance of Materials to Sliding Wear Using Block-on-Ring Wear Test

G 78 - Guide for Crevice Corrosion Testing of Iron-Base and Nickel-Base Stainless Alloys in Seawater and Other Chloride-Containing Aqueous Environments

G 79 - Practice for Evaluation of Metals Exposed to Carbuzization Environments

G 81 - Test Method for Jaw Crusher Gouging Abrasion Test

G 82 - Guide for Development and Use of a Galvanic Series for Predicting Galvanic Corrosion Performance

G 83 - Test Method for Wear Testing with a Crossed-Cylinder Apparatus

G 84 - Practice for Measurement of Time-of-Wetness on Surfaces Exposed to Wetting Conditions as in Atmospheric Corrosion Testing

G 85 - Practice for Modified Salt Spray (Fog) Testing

G 87 - Practice for Conducting Moist SO2 Tests

G 91 - Practice for Monitoring Atmospheric SO2 Using the Sulfation Plate Technique

G 92 - Practice for Characterization of Atmospheric Test Sites

G 96 - Guide for On-Line Monitoring of Corrosion in Plant Equipment (Electrical and Electrochemical Methods)

G 97 - Test Method for laboratory Evaluation of Magnesium Sacrificial Anode Test Specimens for Underground Applications

G 98 - Test Method for Galling Resistance of Materials

G 99 - Test Method for Wear Testing with a Pin-on-Disk Apparatus

G 100 - Test Method for Conducting Cyclic Galvanostaircase Polarization

G 101 - Guide for Estimating the Atmospheric Corrosion Resistance of low-Alloy Steels

G 102 - Practice for Calculation of Corrosion Rates and Related Information from Electrochemical Measurements

G 103 - Test Method for Performing a Stress-Corrosion Cracking Test of low Copper Containing Al-Zn-Mg Alloys in Boiling 6 % Sodium Chloride Solution

G 104 - Test Method for Assessing Galvanic Corrosion Caused by the Atmosphere

G 105 - Test Method for Conducting Wet Sand/Rubber Wheel Abrasion Tests

G 106 - Practice for Verification of Algorithm and Equipment for Electrochemical Impedance Measurements

G 107 - Guide for Formats for Collection and Compilation of Corrosion Data for Metals for Computerized Database Input

G 108 - Test Method for Electrochemical Reactivation (EPR) for Detecting Sensitization of AISI Type 304 and 304L Stainless Steels

G 109 - Test Method for Determining the Effects of Chemical Admixtures on the Corrosion of Embed Steel Reinforcement in Concrete Exposed to Chloride Environments

G 110 - Practice for Evaluating lntergranular Corrosion Resistance of Heat-Treatable Aluminum Alloys by Immersion in Sodium Chloride + Hydrogen Peroxide Solution

G 111 - Guide for Corrosion Tests in High-Temperature or High-Pressure Environment, or Both

G 112 - Guide for Conducting Exfoliation Corrosion Tests in Aluminum Alloys

G 115 - Guide for Measuring and Reporting Friction Coefficients

G 116 - Practice for Conducting Wire-on-Bolt Test for Atmospheric Galvanic Corrosion

G 117 - Guide for Calculating and Reporting Measures of Precision Using Data From Interlaboratory Wear or Erosion Tests

G 118 - Guide for Recommended Format of Wear Test Data Suitable for Databases

G 119 - Guide for Determining Synergism Between Wear and Corrosion

G 123 - Test Method for Evaluating Stress-Corrosion Cracking of Stainless Alloys with Different Nickel Content in Boiling Acidified Sodium Chloride Solution

G 129 - Practice for Slow Strain Rate Testing to Evaluate the Susceptibility of Metallic Materials to Environmentally Assisted Cracking

G 132 - Test Method for Pin Abrasion Testing

G 133 - Test Method for Linearly Reciprocating Ball-on-Flat Sliding Wear

G 134 - Test Method for Erosion of Solid Materials by a Cavitating Liquid Jet

G 135 - Guide for Computerized Exchange of Corrosion Data for Metals

G 137 - Test Method for Ranking Resistance of Plastic Materials to Sliding Wear Using a Block-on-Ring Configuration

G 139 - Test Method for Determining Stress-Corrosion Cracking Resistance of Heat-Treatable Aluminum Alloy Products Using Breaking load Method

G 140 - Test Method for Determining Atmospheric Chloride Deposition Rate by Wet Candle Method

G 142 - Test Method for Determination of Susceptibility of Metals to Embrittlement in Hydrogen Containing Environments at High Pressure, High Temperature, or Both

G 143 - Test Method for Measurement of Web/Roller Friction Characteristics

G 146 - Practice for Evaluation of Disbonding of Bimetallic Stainless Alloy/Steel Plate for Use in High-Pressure, High-Temperature Refinery Hydrogen Service

G 148 - Practice for Evaluation of Hydrogen Uptake, Permeation, and Transport in Metals by an Electrochemical Technique

G 149 - Practice for Conducting the Washer Test for Atmospheric Galvanic Corrosion

G 150 - Test Method for Electrochemical Critical Pitting Temperature Testing of Stainless Steels

1

A 143 - Practice for Safeguarding Against Embrittlement of Hot-Dip Galvanized Structural Steel Products and Procedure for Detecting Embrittlement

A 262 - Practices for Detecting Susceptibility to lntergranular Attack in Austenitic Stainless Steels

A 380 - Practice for Cleaning, Descaling, and Passivation of Stainless Steel Parts, Equipment, and Systems

A 763 - Practices for Detecting Susceptibility to Intergranular Attack in Ferritic Stainless Steels

B 76 - Test Method for Accelerated Life of Nickel-Chromium and Nickel-Chromium-Iron Alloys for Electrical Heating

B 78 - Test Method for Accelerated Life of Iron-Chromium-Aluminum Alloys for Electrical Heating

B 154 - Test Method for Mercurous Nitrate Test for Copper and Copper Alloys

B 368 - Method for Copper-Accelerated Acetic Acid-Salt Spray (Fog) Testing (Cass Test)

B 380 - Method of Corrosion Testing of Decorative Electrodeposited Coatings by the Corrodkote Procedure

B 457 - Test Method for Measurement of Impedance of Anodic Coatings on Aluminum

B 537 - Practice for Rating of Electroplated Panels Subjected to Atmospheric Exposure

B 545 - Specification for Electrodeposited Coatings of Tin

B 577 - Test Methods for Detection of Cuprous Oxide (Hydrogen Embrittlement Susceptibility) in Copper

B 605 - Specification for Electrodeposited Coatings of Tin-Nickel Alloy

B 627 - Test Method for Electrolytic Corrosion Testing (EC Test)

B 650 - Specification for Electrodeposited Engineering Chromium Coatings on Ferrous Substrates

B 651 - Method for Measurement of Corrosion Sites in Nickel Plus Chromium or Copper Plus Nickel Plus Chromium Electroplated Surfaces With the Double-Beam Interference Microscope

B 680 - Test Method for Seal Quality of Anodic Coatings on Aluminum by Acid Dissolution

B 689 - Specification for Electroplated Engineering Nickel Coatings

B 732 - Test Method for Evaluating the Corrosivity of Solder Fluxes for Copper Tubing Systems

B 733 - Specification for Autocatalytic Nickel-Phosphorus Coatings on Metals

B 734 - Specification for Electrodeposited Copper for Engineering Uses

B 735 - Test Method for Porosity in Gold Coatings on Metal Substrates by Nitric Acid Vapor

B 741 - Test Method for Porosity in Gold Coatings on Metal Substrates by Paper Electrography

B 765 - Guide for Selection of Porosity Tests for Electrodeposits and Related Metallic Coatings

B 809 - Test Method for Porosity in Metallic Coatings by Humid Sulfur Vapor ("Flowers-of-Sulfur")

C 692 - Test Method for Evaluating the Influence of Thermal Insulations on the External Stress Corrosion Cracking Tendency of Austenitic Stainless Steel

C 739 - Specification for Cellulosic Fiber (Wood-Base) Loose-Fill Thermal Insulation

C 876 - Test Method for Half-Cell Potentials of Uncoated Reinforcing Steel in Concrete

D 130 - Test Method for Detection of Copper Corrosion From Petroleum Products by the Copper Strip Tarnish Test

D 610 - Test Method for Evaluating Degree 9f Rusting on Painted Steel Surfaces

D 665 - Test Method for Rust-Preventing Characteristics of inhibited Mineral Oil in the Presence of Water

D 849 - Test Method for Copper Strip Corrosion by Industrial Aromatic Hydrocarbons

D 876 - Test Methods for Nonrigid Vinyl Chloride Polymer Tubing Used for Electrical Insulation

D 930 - Test Method of Total Immersion Corrosion Test of Water-Soluble Aluminum Cleaners

D 1141 - Specification for Substitute Ocean Water

D 1193 - Specification for Reagent Water

D 1280 - Test Method of Total Immersion Corrosion Test for Soak Tank Metal Cleaners

D 1384 - Test Method for Corrosion Test for Engine Coolants in Glassware

D 1414 - Test Method for Rubber O-Rings

D 1611 - Test Method for Corrosion Produced by Leather in Contact with Metal

D 1654 - Test Method for Evaluation of Painted or Coated Specimens Subjected to Corrosive Environments

D 1734 - Test Method for Corrosion Preventive Properties of Lubricating Greases

D 1838 - Test Method for Copper Strip Corrosion by Liquefied Petroleum (LP) Gases

D 2059 - Test Method for Resistance of Zippers to Salt Spray (Fog)

D 2251 - Test Method for Metal Corrosion by Halogenated Organic Solvents and Their Admixtures

D 2570 - Test Method for Simulated Service Corrosion Testing of Engine Coolants

D 2649 - Test Method for Corrosion Characteristics of Solid Film Lubricants

D 2671 - Test Methods for Heat-Shrinkable Tubing for Electrical Use

D 2758 - Test Method for Engine Coolants by Engine Dynamometer

D 2803 - Guide for Testing Filiform Corrosion Resistance of Organic Coatings on Metal

D 2809 - Test Method for Cavitation Corrosion and Erosion-Corrosion Characteristics of Aluminum Pumps with Engine Coolants

D 2847 - Practice for Testing Engine Coolants in Car and Light Truck Service

D 2933 - Test Method for Corrosion Resistance of Coated Steel Specimens (Cyclic Method)

D 3263 - Test Methods for Corrosivity of Solvent Systems for Removing Water-Formed Deposits

D 3310 - Test Method for Determining Corrosivity of Adhesive Materials

D 3316 - Test Method for Stability of Perchloroethylene with Copper

D 3482 - Test Method for Determining Electrolytic Corrosion of Copper by Adhesives

D 3603 - Test Method for Rust-Preventing Characteristics of Steam Turbine Oil in the Presence of Water (Horizontal Disk Method)

D 4048 - Test Method for Detection of Copper Corrosion From Lubricating Grease

D 4340 - Test Method for Corrosion of Cast Aluminum Alloys in Engine Coolants Under Heat-Rejecting Conditions

D 4585 - Practice for Testing Water Resistance of Coatings Using Controlled Condensation

D 4627 - Test Method for Iron Chip Corrosion for Water-Dilutable Metalworking Fluids

E 712 - Practice for Laboratory Screening of Metallic Containment Materials for Use with Liquids in Solar Heating and Cooling Systems

E 745 - Practices for Simulated Service Testing for Corrosion of Metallic Containment Materials for Use with Heat-Transfer Fluids in Solar Heating and Cooling Systems

E 937 - Test Method for Corrosion of Steel by Sprayed Fire-Resistive Material (SFRM) Applied to Structural Members

F 326 - Test Method for Electronic Hydrogen Embrittlement Test for Cadmium Electroplating Processes

F 359 - Practice for Static Immersion Testing of Unstressed Materials in Nitrogen Tetroxide (N2O4)

F 482 - Test Method for Corrosion of Aircraft Metals by Total Immersion in Maintenance Chemicals

F 483 - Test Method for Total Immersion Corrosion Test for Aircraft Maintenance Chemicals

F 519 - Test Method for Mechanical Hydrogen Embrittlement Testing of Plating Processes and Aircraft Maintenance Chemicals

F 746 - Test Method for Pitting or Crevice Corrosion of Metallic Surgical Implant Materials

F 897 - Test Method for Measuring Fretting Corrosion of Osteosynthesis Plates and Screws

F 945 - Test Method for Stress-Corrosion of Titanium Alloys by Aircraft Engine Cleaning Materials

F 1089 - Test Method for Corrosion of Surgical Instruments

F 1110 - Test Method for Sandwich Corrosion Test

(sumber : http://www.setlaboratories.com/astm.htm)

Jika membutuhkan standard di atas atau konsultasi korosi silahkan hubungi :

Gadang P
Email : gadangp@gmail.com ; gada001@lipi.go.id
HP :08151636652

[INFO ILMIAH] EMPAT TIPS SINGKAT UNTUK MENANGANI PERTAMA KALI SAAT FAILURE PADA KOMPONEN LOGAM UNTUK DIANALISA DI LABORATORIUM

EMPAT TIPS SINGKAT UNTUK MENANGANI PERTAMA KALI SAAT FAILURE PADA KOMPONEN LOGAM UNTUK DIANALISA DI LABORATORIUM


Saat kita akan menganalisa suatu kegagalan material pada komponen-komponen logam, kita harus berhati-hati dalam menangani untuk pertama kali, kalau gegabah maka bukti-bukti otentik kegagalan material akan rusak atau hilang.Layaknya kita sebagai investigator kepolisian.

Saat kegagalan/kerusakan komponen ditemukan dan akan dianalisa di laboratorium maka kita bisa menjaga dengan melapis dengan lapisan tertentu di permukaan komponen dan dimasukkan ke kontainer plasting yang diberi silika gel atau adsorber untuk menghilangkan uap-uap air/kelembaban hingga saat kita akan analisa.

  1. Pelapisan juga harus larut dengan pelarut organik saat menghilangkan lapisan di permukaan logam. Saat kita memegang komponen logam tidak boleh menggunakan jari telanjang kita. ini karena tubuh kita mengeluarkan keringat.Keringat merupakan larutan asam lemah yang dapat merusak permukaan logam.
  2. Kadang-kadang kita ingin tahu saat ada dua komponen patah dan kita menyatukan lagi, itu tidak boleh terjadi karena akan merusak tekstur patahan logam.
  3. Kadang-kadang kita juga menggunakan alat-alat tajam untuk sekedar mengikis atau menghilangkan bukti-bukti patahan/kegagalan seperti adanya oksida, karat dll, itu tidak boleh terjadi dan dilarang karena akan mengubah bukti otentik.
  4. Kita juga tidak boleh menggunakan/iseng menaruh larutan asamke patahan, tidak boleh karena bisa melarutkan oksida,karat atau tekstur patahan sebagai bukti terjadinya kegagalan.

Jika kurang jelas tentang failure anaysis, silahkan hubungi saya

GADANG P



[INFO ILMIAH] EMPAT TIPS SINGKAT UNTUK MENANGANI PERTAMA KALI SAAT FAILURE PADA KOMPONEN LOGAM UNTUK DIANALISA DI LABORATORIUM

EMPAT TIPS SINGKAT UNTUK MENANGANI PERTAMA KALI SAAT FAILURE PADA KOMPONEN LOGAM UNTUK DIANALISA DI LABORATORIUM


Saat kita akan menganalisa suatu kegagalan material pada komponen-komponen logam, kita harus berhati-hati dalam menangani untuk pertama kali, kalau gegabah maka bukti-bukti otentik kegagalan material akan rusak atau hilang.Layaknya kita sebagai investigator kepolisian.

Saat kegagalan/kerusakan komponen ditemukan dan akan dianalisa di laboratorium maka kita bisa menjaga dengan melapis dengan lapisan tertentu di permukaan komponen dan dimasukkan ke kontainer plasting yang diberi silika gel atau adsorber untuk menghilangkan uap-uap air/kelembaban hingga saat kita akan analisa.

  1. Pelapisan juga harus larut dengan pelarut organik saat menghilangkan lapisan di permukaan logam. Saat kita memegang komponen logam tidak boleh menggunakan jari telanjang kita. ini karena tubuh kita mengeluarkan keringat.Keringat merupakan larutan asam lemah yang dapat merusak permukaan logam.
  2. Kadang-kadang kita ingin tahu saat ada dua komponen patah dan kita menyatukan lagi, itu tidak boleh terjadi karena akan merusak tekstur patahan logam.
  3. Kadang-kadang kita juga menggunakan alat-alat tajam untuk sekedar mengikis atau menghilangkan bukti-bukti patahan/kegagalan seperti adanya oksida, karat dll, itu tidak boleh terjadi dan dilarang karena akan mengubah bukti otentik.
  4. Kita juga tidak boleh menggunakan/iseng menaruh larutan asamke patahan, tidak boleh karena bisa melarutkan oksida,karat atau tekstur patahan sebagai bukti terjadinya kegagalan.

Jika kurang jelas tentang failure anaysis, silahkan hubungi saya

GADANG P



Senin, 12 November 2007

[INFO] Kutipan Produksi,konsumsi,&ekspor Batubara Indonesia

PRODUKSI, KONSUMSI, DAN EKSPOR BATUBARA INDONESIA

Perkembangan produksi batubara selama 13 tahun terakhir telah menunjukkan peningkatan yang cukup pesat, dengan kenaikan produksi rata-rata 15,68% pertahun. Tampak pada tahun 1992, produksi batubara sudah mencapai 22,951 juta ton dan selanjutnya pada tahun 2005 produksi batubara nasional telah mencapai 151,594 juta ton. Perusahaan pemegang PKP2B merupakan produsen batubara terbesar, yaitu sekitar 87,79 % dari jumlah produksi batubara Indonesia, diikuti oleh pemegang KP sebesar 6,52 % dan BUMN sebesar

5,68 %. Perkembangan produksi batubara nasional tersebut tentunya tidak terlepas dari permintaan dalam negeri (domestik) dan luar negeri (ekspor) yang terus meningkat setiap tahunnya. Sebagian besar produksi tersebut untuk memenuhi permintaan luar negeri, yaitu rata-rata 72,11%, dan sisanya 27,89% untuk memenuhi permintaan dalam negeri (Gambar 4.1).

4.2 Perkembangan Konsumsi Dalam Negeri

Pemanfaatan batubara di dalam negeri meliputi penggunaan di PLTU, industri semen, industri

kertas, industri tekstil, industri metalurgi, dan industri lainnya (Tabel 4.1).

4.2.1 PLTU

PLTU merupakan industri yang paling banyak menggunakan batubara. Tercatat dari seluruh

konsumsi batubara dalam negeri pada tahun 2005 sebesar 35,342 juta ton, 71,11% di antaranya digunakan oleh PLTU. Hingga saat ini, PLTU berbahan bakar batubara, baik milk PLN maupun yang dikelola swasta, ada 9 PLTU, dengan total kapasitas saat ini sebesar 7.550 MW dan mengkonsumsi batubara sekitar 25,1 juta ton per tahun.

Berdasarkan data dalam kurun waktu 1998-2005, Penggunaan batubara di PLTU untuk setiap

tahunnya meningkat rata-rata 13,00%. Hal tersebut sejalan dengan penambahan PLTU baru

sebagai dampak permintaan listrik yang terus meningkat rata-rata 7,67% per tahun.

Namun demikian, sejak tahun 2003 krisis energi listrik nasional sudah mulai terasa sebagai dampak dari ketidakseimbangan antara penyediaan dan permintaan. Dalam upaya mengantisipasi kekurangan listrik dan untuk meningkatkan efisiensi pemakaian BBM secara nasional, pemerintah merencanakan percepatan pembangunan PLTU berbahan bakar listrik 10.000 MW hingga akhir 2009.

4.2.2 Industri Semen

Selama delapan tahun terakhir ini, perkembangan pemakaian batubara pada industri semen berfluktuasi. Antara tahun 1998-2001, pemakaian batubara rata-rata naik sangat signifikan, yaitu 64,03%, namun pada tahun 2002 dan 2003 sempat mengalami penurunan hingga 7,59%. Memasuki tahun 2004, kebutuhan batubara pada industri semen mengalami perubahan yang positif, yaitu 19,78% seiring perkembangan ekonomi yang mulai membaik di dalam negeri. Tahun 2005, tercatat sekitar 17,04% kebutuhan batubara dalam negeri digunakan oleh industri semen atau 5,77 juta ton.

4.2.3 Industri Tekstil

Industri tekstil memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar minyak (BBM), oleh karena itu dengan melambungnya harga BBM, banyak yang beralih ke bahan bakar ke batubara, walaupun harus melakukan modifikasi terhadap boiler atau mengganti boiler yang baru berbahan bakar batubara. Pada tahun 2003 jumlah perusahaan tekstil yang menggunakan bahan bakar batubara hanya 18 perusahaan saja, namun pada tahun 2006 sudah bertambah menjadi 224 perusahaan tersebar di

Pulau Jawa terutama di Propinsi Jawa Barat. Kebutuhan batubaranya pun meningkat sangat

signifikan, yaitu dari 274.150 ton pada tahun 2003 naik menjadi 3,07 juta ton pada tahun 2006.

4.2.4 Industri Kertas

Seperti halnya pada perusahaan tekstil, batubara dalam industri kertas digunakan sebagai bahan bakar dimana energi panas yang dihasilkan digunakan untuk memasak air pada boiler sehingga menghasilkan uap yang diperlukan untuk memasak pulp (bubur kertas).

Perkembangan pemakaian batubara pada industri kertas selama kurun waktu 1998-2005 naik

sangat signifikan, rata-rata 42,36%. Namun untuk waktu mendatang diperkirakan

perkembangannya akan stabil pada kisaran 3,0 – 6,0 % per tahun. Pada tahun 2005, jumlah

kebutuhan batubara untuk industri ini mencapai sekitar 2,207 juta ton.

4.2.5 Industri Metalurgi dan Industri Lainnya

Perkembangan kebutuhan batubara oleh industri metalurgi berfluktuasi, namun ada trend

perkembangan yang meningkat sejalan dengan kondisi produksi perusahaan yang mengalami turun naik. Tahun 1998 tercatat 144,907 ribu ton, meningkat hingga mencapai 236,802 ribu ton pada tahun 2002, namun kemudian menurun hingga 112,827 ribu ton tahun 2005.

Di samping industri metalurgi, masih banyak industri lainnya yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar dalam mendukung proses produksinya, antara lain industri makanan, kimia, pengecoran logam, karet ban, dan lainnya. Di Propinsi Banten dan Jawa Barat ada 21

perusahaan yang telah menggunakan batubara dengan total kebutuhan diperkirakan mencapai 416.708 ton untuk tahun 2005.

4.2.6 Briket Batubara

Dari data tahun 1998 – 2005, perkembangan briket batubara berfluktuatif, namun cenderung ada peningkatan. Konsumsi terendah sebesar 23.506 ton pada tahun 2004 dan tertinggi pada mencapai 38.302 ton tahun 1999. Pada sisi lain potensi konsumsi BBM yang dapat disubstitusi briket batubara untuk IKM dan rumahtangga sebesar 12,32 juta ton, dan jumlah optimisnya sebesar 1,3 juta ton per tahun atau ekivalen dengan 936.000 kilo liter minyak tanah per tahun. Kondisi pasar akan menentukan bagaimana prospek perbriketan batubara di Indonesia sebagai bahan alternative substitusi minyak tanah khususnya, bersama-masa dengan energi alternative lainnya seperti bahan bakar nabati (biofuel) dan LPG.

4.2.7 Upgrading Brown Coal, Gasifikasi, dan Pencairan Batubara

Terkait dengan upaya ketahanan bauran energi nasional, adalah pengembangan teknologi

batubara, dimana skala pilot plantnya dikembangkan oleh Puslitbang Teknologi Mineral dan

Batubara (tekMIRA) meliputi antara lain upgrading brown coal (UBC), gasifikasi, dan pencairan batubara. Direncanakan tidak lama lagi akan dirintis ke arah demo plant sebelum skala komersialisasi.

4.3 Perkembangan Ekspor

Kebutuhan batubara dunia saat ini ternyata meningkat sangat cepat, antara lain dipicu oleh

booming harga dan semakin banyaknya pembangunan PLTU di luar negeri yang menggunakan bahan bakar batubara, serta kran ekspor China ditutup. Hal ini yang mengantarkan Indonesia sebagai pemasok (eksportir) terbesar pada tahun ini menyaingi Australia dan Afrika Selatan. Ekspor batubara Indonesia pada tahun 1992 hanya sebesar 16,288 juta ton, sedangkan pada tahun 2005 tercatat sebesar 106,767 juta ton. Ini berarti volume ekspor rata-rata naik sebesar 16,00%. Perusahaan pemegang PKP2B merupakan eksportir batubara terbesar, yaitu sekitar 95,36% dari jumlah ekspor batubara Indonesia, diikuti oleh pemegang BUMN sebesar 2,52% dan KP sebesar 2,12%.

Sumber :

Kompilasi oleh

Tim Kajian Batubara Nasional

Kelompok Kajian Kebijakan Mineral dan Batubara

Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara

Minggu, 11 November 2007

[INFO] Recheking of our raw material to produce final product

Pengecekan kembali spesifikasi standar international material mentah untuk produksi

Hai blogger pemerhati logam (kaum pengusaha/industriawan)

Sering para pelaku industri dalam pembelian barang/produk dari suplier baik di dalam negeri maupun luar negeri harus mempercemati spesifikasi suatu produk dalam pembelian (puchasing). Apakah sesuai spesifikasi suatu produk harus memperhatikan apakah sesuai standard internasional misalnya standar amerika (ASTM), standar Jepang (JIS),standar jerman (DIN) dan lain-lain. Sehingga dalam pembelian barang/produk khususnya raw material untuk diolah kembali menjadi produk jadi (final produk) harus disertai keterangan spesifikasi lengkap standard minimal standar apa yang produsen gunakan?. Kemudian apakah kita percaya saja 100% atau mengiyakan bahwa raw material ini benar-benar sesuai spesifikasi atau jangan-jangan barang yang kita sudah beli merupakan produk "underspec" dan kita sudah membeli begitu banyak tersimpan di gudang. Banyak kejadian terlihat kita komplain ke produsen (dalam negeri atau luar negeri) saat proses produksi berlangsung.
Kejadian ini akan membuat kita bisa mengalami "loss" di segala aspek. Ini tantangan bagi bagian QC, QA dan bagian produksi untuk meneliti kembali barang yang datang melalui observasi referensi/literatur standard yang dipakai dan melakukan "recheking" kualitas barang yang dibeli di lembaga independent (instansi penelitian dan pengembangan milik pemerintah RI).

Mudah-mudahan tulisan super singkat ini dapat mengingatkan kembali akan awarness kita tentang "recheking" barang yang kita telah beli untuk diolah kembali menjadi final product.Jika perlu untuk standard internasional khususnya ASTM untuk komparasi produk
silahkan kontak saya

Gadang Priyotomo
Email : gadangp@gmail.com ; gada001@lipi.go.id
HP : 08151636652

Jika pengecekan atau validasi diperlukan pengujian barang raw material logam, rekan-rekan perlu mengecek ke kantor sayadi Pusat penelitian Metalurgi-LIPI

Terima kasih,

Gadang P

Sabtu, 10 November 2007

[Info logam] Unsur pemadu dalam besi/baja

UNSUR -UNSUR PEMADU/ALLOYING DALAM BESI/BAJA


Unsur Utama dalam logam besi/baja :
(Besi/Fe)

Unsur-unsur yang selalu terkandung dalam besi/baja
  1. Karbon(C)
  2. Mangan (Mn)
  3. Silikon (Si)
  4. Sulfur (S)
  5. Pospor (P)

Unsur-unsur lainnya :
  1. Krom (Cr)
  2. Molibdenum (Mo)
  3. Nikel (Ni)
  4. Aluminium (Al)
  5. Tembaga (Cu)
  6. Vanadium (V)
  7. Boron (B)
  8. Titanium (Ti)
  9. Nitrogen (N)
  10. Columbium (Cb)
  11. Kobalt (Co)
  12. Tunsten (W)

(Sumber : Diktat Dosen S2 ku)

Kamis, 08 November 2007

[Artikel ringan]MELIHAT ARTI "18/8" DI SENDOK MAKAN STAINLESS STEEL DI RUMAH KITA

MELIHAT ARTI "18/8" DI SENDOK MAKAN STAINLESS STEEL DI RUMAH KITA


Rekan blogger, saya punya suatu rahasia kenapa kok sendok makn kita harus terbuat dari stainless steel atau plastik.
Saya melihat ada suatu label dibelakang sendok makan kita berbunyi " Stainless steel 18/8", Lho apa artinya itu???????????????

Mari rekan sesama blogger metal untuk telaah :
Sendok makan umumnya terbuat dari baja stainless (baja tahan karat), ini bertujuan agar saat kita makan,misalnya nich makan bakso yang pedas dan asam, kita tidak akan Terkontaminasi adanya logam ke tubuh kita, makanya tidak ada menggunakan sendok besi, coba baca artikel saya sebelumnya di blogging ini "
CARA MEMBERSIHKAN BESI/BAJA BIASA DENGAN MUDAH" . rekan lihat itu gambarnya baja/besi berkarat,mau rekan makan dengan sendok berkarat,makanya dipilih nama stainless steel

Arti dari "18/8" merupakan suatu unsur logam lain dimasukan ke baja yaitu :

1. 18 ---> 18 persen berat logam kromium(Cr)
2. 8 ----> 8 persen berat logam Nikel (Ni)

Dua unsur ini yang merupakan elemen penting untuk ketahanan logam akan korosi.

Ternyata, komposisi ini telah distandarkan oleh organinasi internasional (American Society For Testing and Materials) ASTM no. A240-00 terlihat tabel dibawah ini :


Unsur

%wt

C

0,08

Mn

2

P

0,45

S

0,03

Si

0,75

Cr

18-20

Ni

8-10,5

Mo

0

Ni

0,10

Cu

0

Fe

Balance


So, jika rekan-rekan ingin membeli alat-alat dapur seperti sendok,garpu, wajan, panci,dll, makan pilih aja produk stainless steel.
But, rekan blogger, produk stainless steel memang lebih mahal dibandingkan produk aluminium, plastik. Tinggal pilih aja sesuai budget kita.


Gadang P


Rabu, 07 November 2007

[Info] Tema thesis S2 saya (korosi retak tegang AISI 304)

Tema thesis S2 saya :

KOROSI RETAK TEGANG MATERIAL STAINLESS STEEL AISI 304 DI LINGKUNGAN MgCl2


Akhir tahun 2007 hingga pertengahan 2008, saya akan melakukan penelitian thesis S2 saya di F-MIPA bidang Ilmu bahan-bahan Universitas Indonesia. Calon pembimbing saya Prof.Johnny WS Sudah mengatakan OK.

Kutipan proposal penelitian saya :

  1. Menyelidiki pengaruh temperatur kerja dan konsentrasi larutan Magnesium klorida pada material AISI 304 terhadap kerentanan korosi retak tegang.
  2. Menginvestigasi adanya logam terlarut di larutan uji saat terjadinya material patah.
  3. Menentukan mekanisme retak pada material AISI 304 di larutan magnesium klorida dengan variasi temperatur dan konsentrasi.
  4. Memberikan batasan-batasan aman melalui indicator waktu patah (tf), steady-stade elongation rate (lss) dan rasio waktu transisi dengan waktu patah (tss/tf)

Peralatan uji utama yang digunakan merupakan alat korosi retak tegang dengan metode beban konstans jenis tuas ( perbandingan tuas 1 : 10). Beban maksimum alat uji adalah 2000 Kg. Benda-benda uji dapat disisipkan secara terpisah dan simultan dalam sel seperti Gambar 4. Sel yang digunakan terbuat dari gelas pyrex dan pada bagian atas dilengkapi dengan system pendingin untuk menghindari penguapan larutan. Proses penguapan terjadi saat larutan dipanaskan oleh pemanas di sel uji. Sampel uji yang disisipkan ke dalam sel diisolasi dengan batang dan grip yang terbuat dari logam zircomium. Nilai elongasi sampel uji pada kondisi beban konstan diukur melalui alat inductive linear transducer dengan akurasi ± 0,01 mm. Peralatan uji korosi retak tegang dengan metode beban konstan terlihat pada Gambar 4.



[ArtikelBAHAYA KOROSI DI JERUJI SEPEDA MOTOR AKIBAT TERGORESNYA LAPISAN SENG

PERHATIAN BAHAYA KOROSI DI JERUJI SEPEDA MOTOR AKIBAT TERGORESNYA LAPISAN SENG DILINGKUNGAN KLORIDA

Semua proses alur produksi komponen kendaraan bermotor seperti proses pemilihan bahan baku, manufaktur, finishing, packaging dan shipping tidak luput terjadinya suatu kegagalan korosi. Ketahanan material terhadap korosi tergantung dari berbagai faktor antara lain elektrokimia, metalurgi, sifat kimia fisika dan termodinamika [1]. Salah satu komponen terpenting dari sebuah kendaraan bermotor roda dua yaitu jeruji (spoke). Jeruji berfungsi sebagai penghubung antara komponen velg dan brake drum. Komponen jeruji dibuat melalui proses manufaktur rod. Logam dasarnya berupa baja karbon rendah. Logam tersebut dilapisi oleh logam seng. Dalam penggunaan kendaraan otomotif tidak luput dari pengaruh lingkungan sekitar. Lapisan coating di permukaan logam bertujuan untuk memisahkan lingkungan sekitar dari logam, maupun untuk mengendalikan lingkungan mikro pada permukaan logam [2].

Fungsi lapis lindung logam adalah memberikan lapisan yang mengubah sifat dari logam tersebut. Salah satu sifat logam berupa sifat ketahanan korosi. Logam komersial yang banyak digunakan di industri, struktur atau alat-alat yang digunakan di luar ruangan umumnya baja lapis lindung seng (galvanized steel). Baja tersebut mempunyai sifat permesinan baik, sifat baik saat pembentukan dingin Pembuatan lapisan seng menggunakan metode pencelupan panas (hot dipping). Proses tersebut dilakukan dengan mencelupkan benda yang akan dilindungi ke dalam cairan panas logam pelindung. Cara ini dinamakan galvanizing karena bahan pelindung utama seng. Seng bersifat anodik (E0= +0,76V SHE) dibandingkan logam dasarnya besi (E0= +0,44 V SHE) sehingga lapisan seng tersebut sebagai pelindung logam dasar dari lingkungan korosif. Lapisan seng secara elektrokimia melindungi logam dasar baja. Saat seng dipasangkan ke logam dasar baja, baja akan terpolarisasi potensial sehingga menjadi sifat katodik sedangkan seng bersifat anodik. Proses tersebut terjadi saat kerusakan lapisan seng akibat proses mekanik, handling atau kimia.

Goresan –goresan (anak panah putih) ini diprediksi sebagai inisiasi area yang akan membentuk sel korosi dengan komponen antara lain :

v Anoda (logam seng)

v Katoda (logam dasar baja)

v Elektrolit (udara/uap basah air laut)

Pada Gambar 8 terlihat produk karat hasil reaksi elektrokimia. Di bawah produk karat semua lapisan seng telah hilang dan hanya logam dasar Fe saja. Reaksi penipisan lapisan seng terjadi di dalam lingkungan elektrolit terlihat pada reaksi kimia di bawah ini

Zn + 2H2O à Zn(OH)2 + H2


Pengujian EPMA (ElectroProbe Microanalyzer) pada Gambar 10 memperlihatkan mapping area adanya daerah mengandung klorida secara kualitatif. Indikasi dini bahwa ion klorida memberikan efek merusak terhadap lapisan seng jika lapisan tersebut tergores saat handling,pengerjaan atau shipping



Sumber :
(kutipan unpublished paper dari gadang priyotomo)










Selasa, 06 November 2007

Mengapa Menara Sutet Roboh di Kedung Panjang Penjaringan jakarta??

[analisa singkat] Mengapa Menara Sutet Roboh di Kedung Panjang Penjaringan Jakarta??


"Kutipan berita dari www.detik.com"
Sabtu, 03/11/2007 07:26 WIB
Menara Sutet Roboh, Jalur KRL Tangerang-Jakarta Dialihkan

Jakarta - Kebakaran di Kedung Panjang, Penjaringan, Jakarta Utara berdampak jalur KRL Tangerang-Jakarta. Menara Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (Sutet) di antara stasiun Angke - Kampungbandan roboh sehingga menghalangi jalur KA.

Demikian informasi yang disampaikan Kahumas PT Kereta Api (KA) Ahmad Sujadi kepada detikcom, Sabtu (3/11/2007).

"Hingga kini belum ada upaya dari PLN untuk pengangkatan tiang tersebut," kata Sujadi.

Sujadi mengatakan, jika tiang tersebut tidak segera diangkat, maka PT KA tidak dapat melakukan perbaikan terhadap listrik aliran atas (LAA) yang rusak akibat tertimpa menara Sutet itu.

"Kereta dari Tanah Abang ke Kota hanya sampai Angke. Jika tidak segera dievakuasi, sampai sore jalur tersebut tidak dapat digunakan," kata Sujadi.

Untuk sementara, kata dia, kereta yang melewati jalur tersebut dialihkan melalui Manggarai. Pengalihan ini akan memperpadat jalur yang lain. (ken/ken)


Kutipan di atas merupakan fenomena biasa yang terjadi baja struktur, orang awam sudah mengetahuinya bahwa jika besi/baja dipanaskan selain memuai juga akan menurunkan sifat kekuatan bahan tersebut, dan terbukti Menara SUTET tidak mampu menahan beb
an sehingga roboh.

Dalam penelitian kecil saya, saya mencoba memanaskan baja karbon rendah Diagram Fe-C ,Pada temperatur 5000C merupakan daerah stress relieving, pada temperatur 5000C hingga 600-an0C merupakan daerah rekristalisasi, daerah speriodisasi pada temperatur 600-an0C hingga 700-an0C sedangkan di atas temperatur 9000C merupakan daerah normalisasi. Perlakuan panas berupa proses anil dapat mengikibatkan perubahan sifat kekerasan dan kekuatan tarik cenderung turun.

Sifat kekerasan suatu bahan turun seiring dengan meningkatnya suhu kerja,


Kode

Suhu (0C)

Nilai Kekerasan BHN

NHT

25

187,7933

HT5

500

181,4467

HT6

600

174,34

HT7

700

158,1

HT8

800

144,7733

HT9

900

138,3667

HT10

1000

105,6867



Sifat kekerasan berband
ing lurus dengan kekuatan bahan. Pada Tabel diatas semakin ditingkatkan temperaturnya,nilai kekerasan menurun dan kekuatan menurun terlihat juga pada Grafik dibawah ini


Perubahan struktur butir logam juga merupakan suatu penyebab terjadinya fenomena robohnya menara. Umumnya baja struktur merupakan hasil deformasi kebentuk profil tertentu sehingga struktur butir menjadi agak pipih,dislokasi terhambat. Adanya panas hingga butir mengalami rekristalisasi dan jika terus dipanaskan struktur butir akan membesar dan homogen bentuknya sehingga dislokasi semakin mudah. Adanya beban sehingga mempermudah pergerakan dislokasi di setiap butiran logam terjadi. Sehingga baja struktur cepat terdeformasi

Sumber analisa singkat (Kutipan makalah Gadang P)