(Artikel berjudul : BERDAYAKAN LIPI)
Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) tak akan terpisahkan dari peradaban manusia. Kemajuan yang dicapai sejumlah negara, seperti Amerika, negara-negara Eropa, Jepang, dan Korea Selatan, tak lepas dari ketekunan mengembangkan dan memajukan iptek. Semua itu terkait perhatian yang serius terhadap peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan dalam upaya menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang andal.
Kesadaran tersebut sesungguhnya telah dimiliki pemerintah saat ini dan dibuktikan dengan alokasi anggaran minimal 20 persen APBN bagi pendidikan. Hanya saja, setelah hampir tiga tahun berjalan, hasilnya belum sepenuhnya terlihat. Perlu ada realokasi anggaran agar dana sekitar Rp 200 triliun bisa betul-betul bermanfaat untuk memajukan pendidikan nasional.
Salah satu bidang yang seharusnya mendapat perhatian lebih adalah riset. Kita memiliki Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), serta lembaga pemerintah non-departemen sejenis. Dari semua kementerian dan lembaga yang terkait dengan bidang penelitian dan pengembangan (litbang atau research and development/RdanD), LIPI seharusnya menjadi lembaga terdepan. Semua jenis ilmu pengetahuan, baik sosial maupun nonsosial, pasti dikaji di LIPI. Tak hanya dikaji, tetapi juga dikembangkan sampai ke tahap aplikasi. Kita tentu ingat “marlip” (marmut LIPI), sebuah mobil buatan lembaga ini yang diperkenalkan tahun 2005. Kalau rancangan itu terus dikembangkan, bukan tidak mungkin kita bisa bersaing dengan negara-negara pengekspor mobil lainnya. Masih banyak hasil kajian dan temuan lain yang seharusnya bisa dimanfaatkan berbagai institusi di negeri ini dari LIPI. Sayangnya, banyak kajian lembaga ini yang tak dipakai, bahkan dilirik pun tidak. Kondisi ini tentu menyedihkan di tengah pernyataan pejabat tentang pentingnya memajukan iptek.
Setidaknya ada empat hal yang membuat peran LIPI belum optimal. Pertama, minimnya anggaran LIPI dan juga anggaran penelitian secara umum. Rata-rata setiap tahun LIPI memperoleh anggaran Rp 500 miliar sampai Rp 600 miliar. Sedangkan, Kemristek mendapat anggaran sekitar Rp 500 miliar. Jumlah itu jelas sangat minim bila dibandingkan dengan anggaran Kementerian Agama yang dinilai banyak kalangan gagal membangun sikap toleran dalam kehidupan berbangsa. Anggaran LIPI hanya sekitar 2 persen dari anggaran Kementerian Agama yang kini mencapai Rp 31 triliun. Lebih menyedihkan lagi bila kita bandingkan dengan anggaran penelitian sejumlah negara. Pada 2010, Amerika memiliki anggaran penelitian US$ 400 miliar, Jepang dan Tiongkok US$ 200 miliar, India US$ 40 miliar, dan Indonesia hanya US$ 0,4 miliar.
Dari perbandingan itu jelas Indonesia tertinggal dalam pembangunan bidang iptek. Apabila pemerintah sungguh ingin memajukan iptek, tak ada rumus lain kecuali menaikkan anggaran penelitian secara signifikan. Peluang memperbesar anggaran bidang iptek terbuka apabila pemerintah dan DPR lebih jeli mengalokasikan APBN. Ada banyak program sosialisasi yang bisa dipangkas dan anggarannya dialihkan ke LIPI dan Kemristek.
Kedua, minimnya penghargaan terhadap peneliti. Indonesia dikenal sebagai negara yang kurang memperhatikan nasib peneliti dan ilmuwan. Indikator utamanya adalah penghasilan. Mengutip pernyataan Wakil Kepala LIPI Endang Sukara, di luar negeri gaji peneliti sekitar Rp 45 juta sampai Rp 90 juta per bulan. Di Indonesia, tunjangan fungsional peneliti setingkat profesor tidak lebih dari Rp 1,5 juta. Sedangkan, gaji profesor riset hanya Rp 4 juta per bulan dan peneliti madya di bawah Rp 4 juta per bulan. Dengan penghasilan sebesar itu, banyak peneliti dan ilmuwan yang lari ke luar negeri (brain drain). Bila gaji penegak hukum dan aparat pajak bisa dinaikkan signifikan, gaji peneliti pun seharusnya bisa didongkrak agar mereka lebih tenang bekerja untuk memajukan bangsa.
Ketiga, belum adanya kesadaran terhadap pentingnya kajian ilmu pengetahuan secara menyeluruh dalam proses pembuatan kebijakan. Banyaknya kebijakan yang selama ini tidak visioner dan bermanfaat bagi rakyat disebabkan minimnya keterlibatan LIPI dan peneliti kampus. Ada kesan kuat, berbagai kementerian dan instansi pemerintah sengaja tidak mau melibatkan LIPI dan kampus karena kuatnya vested interest. Para penyelenggara negara hendaknya menyadari dampak buruk dari kebijakan yang salah, jauh lebih dahsyat daripada korupsi.
Keempat, terkait hal itu perlu dilakukan sinergi lembaga penelitian, khususnya yang ada di berbagai kementerian, kampus, dan pemerintah daerah. LIPI bisa berperan mengkoordinasi berbagai lembaga penelitian yang ada, sehingga bisa saling melengkapi dan tidak tumpang tindih. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan dijalin kerja sama dengan industri-industri nasional dalam upaya memberi nilai tambah terhadap setiap produk yang dihasilkan. Tak hanya di bidang sosial, LIPI juga memiliki pakar sains. Bila Indonesia ingin maju, berdayakan LIPI!
Tajuk Rencana
SUARA PEMBARUAN
Rabu, 30 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar